Senin, 10 Juni 2013

Perbudakan Buruh

Perbudakan Buruh

Globalisasi pekerja

Perkembangan zaman yang diiringin majunya tekhnologi sudah tidak dipungkiri menjadi hal yang utama dalam globalisasi ini , tidak hanya barang yang import dan export bahkan pekerja pun berlomba- lomba mencari pekerjaan di luar negeri asalnya guna mencukupi kehidupanya.
Apa boleh buat tiap orang harus mempunyai keahlian yang unggul dalam dunia globalisasi ini , karena dampak itu bahkan orang rela menjadi apa sajan dan diperlakukan apa saja untuk mendapat pekerjaan itu.
Seperti berita dalam dekat ini bahwa terjadi kekerasaan terhadap buruh , karena dampak itu buruh yang merasa di perlakukan buruk disemua belahah negara mencuak dan berani bersuara.
Perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (“UU PHI) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan jangka waktu penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Setiap perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat.

enyelenggaraan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan, merupakan tugas pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan propinsi dan pemerintahan pusat, yang wewenangnya diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
 
Ketentuan pengaturan wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, diatur dalam UU Pengawasan Perburuhan yang dibuat pada tahun 1948 dan diundangkan pada tahun 1951, sedangkan ketentuan materiil undang-undang ketenagakerjaan sebagai UU yang mengatur tentang hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja telah 2 (dua) kali diubah yaitu pada tahun 1997 dan pada tahun 2003, namun UU Pengawasan Perburuhan tidak mengalami perubahan, sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional pekerja/buruh atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, karena UU Pengawasan Perburuhan tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, sebagai salah satu bentuk penyesuaian terhadap perubahan kondisi yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan ketenagakerjaan dengan dimulainya era reformasi.




Adds by google

 

UU Pengawasan Perburuhan No. 23 Tahun 1948, merupakan undang-undang yang menjadi dasar Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, untuk menjalankan kewenangannya menjamin pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku oleh pemberi kerja dan pekerja/buruh serta pemerintah itu sendiri. Sehingga, pelaku hubungan kerja bukan hanya pekerja/buruh dan pemberi kerja, tetapi juga pemerintah yang berperan melakukan pengawasan terhadap penerapan pelaksanaan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.
Fakta bahwa, pergantian kepala pemerintahan, senyatanya tidak merubah nasib pekerja/buruh, yaitu ketidakpastian pekerjaan, mudahnya pemutusan hubungan kerja, proses penyelesaian perburuhan yang tidak menguntungkan pekerja/buruh, pengebirian kekuatan serikat pekerja/serikat buruh, jaminan perlindungan hukum yang setengah hati, mengabaikan pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan itu sendiri.

Sebelum UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan diundangkan pada tahun 2003, syarat-syarat hubungan kerja dan hak serta kewajiban pekerja/buruh dan pemberi kerja diatur oleh Undang undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12. Alasan pergantian UU Kerja yang diundangkan pada tahun 1951, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dan dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998, sehingga oleh karena UU Kerja sebagai hukum materiil dalam hukum perburuhan telah dicabut dan disempurnakan oleh UU Ketenagakerjaan pada tahun 2003, maka seyogyanya pula, UU Pengawasan Perburuhan sebagai UU yang menjadi dasar dan jaminan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan juga perlu diperbaiki guna memperkuat landasan hukum kewenangan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat, untuk menjalankan kewenangannya menjamin pelaksanaan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.
Untuk memastikan hak setiap pekerja/buruh dalam mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, pemerintah membentuk Pegawai Pengawas Perburuhan (sekarang: Ketenagakerjaan) sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pengawasan Perburuhan dan UU Ketenagakerjaan yang berada di instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan pada pemerintahan kota/kabupaten, pemerintahan provinsi dan pemerintahan pusat.
Fakta, bahwa sedikitnya lapangan kerja dan semakin banyaknya angkatan kerja, membuat kedudukan pekerja/buruh relatif lebih lemah, ketimbang posisi pemberi kerja yang dapat menolak pekerja/buruh untuk bekerja di perusahaannya. Kondisi ini mengakibatkan timpangnya daya tawar pekerja/buruh terhadap pemberi kerja, sehingga banyak pekerja/buruh yang menerima penyimpangan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemberi kerja, karena takut kehilangan pekerjaan.

Link:
kompasiana 
Hukum tenaga kerja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar